Tawanita - Sudah berlalu ribuan tahun kisah mencekam ini berlalu, namun nafas
kita akan tertahan tatkalah mengikuti perjalanan kisah ini, seakan-akan
kita menyaksikan sendiri peristiwa sejarah ini.
Kisah ini sangat mencekam, yaitu saat kapal yang membawa Nabi Nuh dan orang-orang beriman ke dalam gelombang laksana gunung-gunung. Kengerian pada alam
yang membisu dan ketakutan di dalam jiwa menjadi satu. Dalam suasana itu
terjadi dialog yang diabadikan Al-Quran antara sang ayah dan anak
kandungnya. Tawaran sang ayah ditolak lantaran sang anak percaya akan
selamat dengan mencari perlindungan di gunung yang tinggi.
"Hai anakku, naiklah ke kapal bersama kami, dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir". (QS. Hud: 22)

"Anaknya menjawab, Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang akan menyelamatkan aku dari air bah." (Hud : 23)
Akan
tetapi gelombang yang deras dengan sangat cepat dan menakutkan sekejab
saja memutuskan pembicaraan mereka, maka berakhirlah ikatan dua batin
itu seakan tak pernah terjadi panggilan cinta sang Ayah dan penolakan
anak yang keras kepala. Air bah dari dalam bumi dan dari langit begitu
dahsyat memancar sehingga menenggelamkan seluruh kawasan itu. Semua
musnah, tak ada yang selamat, semua ditenggeamkan kecuali yang naik
bahtera bersama orang-orang beriman.
Tak lama
badai dan air bah mulai tenang, bumi menelan airnya, sedangkan hujan
menjadi redah seketika, perasaan kalut nan mencekam akhirnya menjadi
tenang kembali, kapalpun telah berlabuh di atas bukit yang bernama bukit
judi.
Bangkitlah di dalam diri Nabi Nuh a.s kasih sayang ayah yang meluap-luap dan penuh rindu,
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
"Dan
Nuh menyeruh Tuhan-nya sambil berkata, ya Rabb, sesungguhnya anakku
termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu itulah yang benar. Dan
Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya". (QS. Hud: 45)
Kalimat
ini diucapkan oleh Nabi Nuh dalam rangka menagih janji Allah yang akan
menyelamatkan keluarganya, dan dia meminta kepada Allah untuk bertindak
bijaksana dalam janji dan keputusan-Nya.
Lalu
Allah memberikan sebuah hakekat yang dilupakan oleh Nabi Nuh a.s .
Keluarga menurut Allah dan timbangan-Nya bukanlah karena hubungan darah
melainkan karena ikatan aqidah. Sedangkan anak nabi Nuh bukanlah orang
yang beriman, maka dia bukanlah termasuk keluarga nabi Nuh, ini
dipertegas oleh Allah dengan firman-Nya:
قَالَ يَا نُوحُ
إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا
تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ
الْجَاهِلِينَ
"Allah berfirman, Wahai Nuh, sesungguhnya
dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan),
sesungguhnya perbuatannya bukanlah perbuatan baik. Sebab itu janganlah
kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikat)nya.
Sesungguhnya aku memperingatkan keppadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan. (QS. Hud: 6)
Inilah
sebuah hakikat besar dalam agama ini, hakikat "buhul aqidah" tempat
kembalinya semua ikatan. Buhul yang mengikat antara seseorang dengan
yang lain yang tidak diikat oleh nasab dan kekeluargaan yang menjadikan
itu lebih besar dan utama dari sekedar ikatan kekeluargaan yang hambar
tanpa makna yang jelas.
Banyak orang yang lebih nyaman
berteman dengan orang lain yang satu visi dalam perjuangan mereka, namun
tidak mampu menjadi orang terdekat dalam keluarga sendiri, karena ada
sekat yang tak terlihat oleh mata. Tidak sedikit pula di antara keluarga
dan sanak saudara yang tak mau berlayar bersama perahu keimanan ketika
diseru, bahkan merasa lebih nyaman menaiki bukit-bukit keterlenaan. Maka
alangkah indahnya jika kekeluargaan dan persaudaraan yang terjalin itu
semakin dikukuhkan dalam nuansa iman dan ketaatan. Semoga hakikat ini
tak pernah dilupakan.