Tawanita - Berbekal karung goni dan sebuah alat yang panjang dan runcing, seorang nenek tua berjalan menyusuri setiap jurusan di ITS. Sang nenek membuka setiap tong sampah yang dilewatinya, mencari botol bekas air mineral, kardus atau apapun yang bisa ditukarkan menjadi uang. Nenek renta berjalan tertatih memanggul karung goni dipunggungnya. Entah apa yang beliau rasakan pada punggungnya yang bongkok itu. Mungkin nyeri, pegal, tapi semua itu tak ada artinya. Yang ada dibenaknya adalah bagaimana caranya agar nafas tetap berhembus.
Ternyata sang nenek tak sendirian, beliau ditemani oleh dua orang cucunya yang kira-kira masih duduk dibangku sekolah dasar. Entah mereka masih berstatus sebagai siswa atau tidak. Pukul 9 pagi, yang biasanya para siswa masih duduk mendengarkan gurunya mengajar, mereka sudah mengais sampah membantu neneknya. Dari tingkahnya, terlihat sekali perbedaan karakter diantara mereka. Yang satu lebih suka diam dan melamun. Yang lain terlihat lebih ceria. Sebut saja si keriting untuk yang pendiam dan si bongsor untuk yang periang.
Suatu ketika si bongsor merasa lapar. Sang nenek langsung menggandeng cucu yang ia sayangi itu ke sebuah kantin. Beliau tidak berani memesan dari dalam, karena didalam penuh dengan mahasiswa yang sedang makan siang. Nenek renta itu memanggil pedagang di kantin itu dari belakang. Dengan senyum beliau mengatakan “Gado-gado setunggal.”tuturnya lembut. “Oh, nggeh mbah.”jawab penjual itu. Setelah menunggu beberapa saat, sebungkus gado-gado diberikan ke nenek tua itu dan si bongsor tersenyum gembira,”Matur nuwun.”katanya. Dan mereka kembali berjalan menyusuri setiap lorong kampus.
Tiba-tiba, langit begitu gelap dan suara guntur pun bergemuruh. Sekilas menatap langit, kemudian sang nenek mengatakan sesuatu kepada dua cucunya itu, mungkin beliau mengatakan agar mereka lebih baik beristirahat dan duduk dahulu disitu untuk berteduh. Benar saja, tak lama kemudian turunlah air langit. Deras sekali, bergalon-galon air ditumpahkan tanda limpahan rahmatNya. Si keriting duduk berpangku tangan sambil melihat tetes demi tetes air jatuh ke tanah. Ia memandanginya dengan tatapan kosong, entah apa yang ada dipikirannya. Sesekali ia mendongak seperti berharap akan datangnya pelangi. Berbeda dengan si bongsor, ia menari-nari gembira sambil memainkan air hujan, seakan akan itu merupakan suatu hal yang sangat menarik. Setetes air hujan merupakan sebotol kegembiraan baginya. Sedangkan nenek hanya duduk bersimpuh sambil melipat kardus hasil jeri payahnya hari ini. Mungkin hujan tidak berarti apa-apa bagi beliau. Ia hanya pasrah dengan semua yang telah diberikan oleh Si pemberi hujan. Nenek renta ini merasa hidup memang butuh diperjuangkan, bagaimanapun pahitnya hidup bila dijalani dengan penuh keikhlasan semua akan terasa begitu menyenangkan. Jika tak ada cobaan dalam hidup, maka itu bukanlah sebuah kehidupan yang sebenarnya. Melodi kehidupan akan terus mengalun tinggal bagaimana caranya masing-masing individu mengartikan setiap bait nadanya.
Ternyata sang nenek tak sendirian, beliau ditemani oleh dua orang cucunya yang kira-kira masih duduk dibangku sekolah dasar. Entah mereka masih berstatus sebagai siswa atau tidak. Pukul 9 pagi, yang biasanya para siswa masih duduk mendengarkan gurunya mengajar, mereka sudah mengais sampah membantu neneknya. Dari tingkahnya, terlihat sekali perbedaan karakter diantara mereka. Yang satu lebih suka diam dan melamun. Yang lain terlihat lebih ceria. Sebut saja si keriting untuk yang pendiam dan si bongsor untuk yang periang.
Suatu ketika si bongsor merasa lapar. Sang nenek langsung menggandeng cucu yang ia sayangi itu ke sebuah kantin. Beliau tidak berani memesan dari dalam, karena didalam penuh dengan mahasiswa yang sedang makan siang. Nenek renta itu memanggil pedagang di kantin itu dari belakang. Dengan senyum beliau mengatakan “Gado-gado setunggal.”tuturnya lembut. “Oh, nggeh mbah.”jawab penjual itu. Setelah menunggu beberapa saat, sebungkus gado-gado diberikan ke nenek tua itu dan si bongsor tersenyum gembira,”Matur nuwun.”katanya. Dan mereka kembali berjalan menyusuri setiap lorong kampus.
Tiba-tiba, langit begitu gelap dan suara guntur pun bergemuruh. Sekilas menatap langit, kemudian sang nenek mengatakan sesuatu kepada dua cucunya itu, mungkin beliau mengatakan agar mereka lebih baik beristirahat dan duduk dahulu disitu untuk berteduh. Benar saja, tak lama kemudian turunlah air langit. Deras sekali, bergalon-galon air ditumpahkan tanda limpahan rahmatNya. Si keriting duduk berpangku tangan sambil melihat tetes demi tetes air jatuh ke tanah. Ia memandanginya dengan tatapan kosong, entah apa yang ada dipikirannya. Sesekali ia mendongak seperti berharap akan datangnya pelangi. Berbeda dengan si bongsor, ia menari-nari gembira sambil memainkan air hujan, seakan akan itu merupakan suatu hal yang sangat menarik. Setetes air hujan merupakan sebotol kegembiraan baginya. Sedangkan nenek hanya duduk bersimpuh sambil melipat kardus hasil jeri payahnya hari ini. Mungkin hujan tidak berarti apa-apa bagi beliau. Ia hanya pasrah dengan semua yang telah diberikan oleh Si pemberi hujan. Nenek renta ini merasa hidup memang butuh diperjuangkan, bagaimanapun pahitnya hidup bila dijalani dengan penuh keikhlasan semua akan terasa begitu menyenangkan. Jika tak ada cobaan dalam hidup, maka itu bukanlah sebuah kehidupan yang sebenarnya. Melodi kehidupan akan terus mengalun tinggal bagaimana caranya masing-masing individu mengartikan setiap bait nadanya.