Tawanita - Seorang anak memasuki rumahnya dengan wajah riang. "Wah, sepertinya kamu sukses ya ujian IPS tadi?" tanya sang ibu yang telah menunggunya.
"Iya, Bu. Soalnya mudah-mudah. Tadi ada pertanyaan perkawinan satu pria dengan lebih dari satu wanita disebut apa?"
"Kamu jawab apa?"
"Poligami"
"Bagus!"
"Ada lagi, Bu. Jika satu perempuan dengan suami lebih dari satu."
"Kamu jawab apa?"
"Poliandri"
"Betul"
"Ada lagi, perkawinan seorang pria dengan seorang wanita"
"Kamu jawab apa?"
"Monoton"
"Kok, monoton?"
"Iya, semalam ayah bilang begitu."
***
Saya tidak tahu apakah cerita di atas benar-benar terjadi atau tidak. Saya mendapatkan cerita tersebut dari Ustadz Rofi' Munawar dalam suatu acara dakwah, sebagai sebuah intermezzo. Namun demikian, cerita tersebut cukup menggelitik, boleh jadi ada suami yang berpendapat seperti ayah dalam cerita itu; monogami = monoton.
Benarkah monogami = monoton? Tentu jawabannya akan sangat subyektif, tergantung siapa yang menjawab dan bagaimana pengalamannya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tulisan ini tidak bermaksud menemukan jawabannya, tetapi ingin berbagi dan berdiskusi agar kehidupan pernikahan kita tidak "monoton."
1. Memperbaharui niat dan komitmen
Salah satu hal utama yang menjadi faktor pemicu munculnya perasaan "monoton" adalah paradigma kita dalam memandang pernikahan. Paradigma tumbuh seiring dengan niat kita menikah.
Jika niat suami istri ketika menikah adalah niat yang ikhlas –memenuhi panggilan Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, menjaga diri, memelihara kehormatan, menyalurkan "potensi" secara halal, melahirkan generasi Islami- maka lamanya pernikahan takkan membuat maknanya berkurang. Memang niat yang benar seperti ini tidak secara otomatis memustahilkan munculnya perasaan "monoton". Tetapi dengan lurusnya niat, jika suatu saat rasa "monoton" itu datang, ia bisa diatasi dengan cepat.
Banyak pasangan yang bermasalah karena niat awal menikah sudah bermasalah. Maka yang menjadi orientasi utama adalah kecantikan, ketampanan, tubuh yang seksi, harta, dan pertimbangan materi lainnya. Begitu lewat beberapa tahun kecantikan memudar, wajah tak lagi rupawan, tubuh yang seksi berubah gendut, harta berkurang... seketika "monoton" itu datang dan sulit terselesaikan. Kurang cantik apa para artis, kurang tampan apa para aktor, kurang seksi apa para selebritis, ternyata banyak diantara mereka yang kemudian cerai, bahkan pada tahun-tahun pertama.
2. Ciptakan romantisme
Umumnya, "monoton" hadir karena kehidupan yang datar. Tak ada tantangan yang dilalui bersama, tak ada sentuhan-sentuhan yang berbeda, tak ada perubahan suasana. Karenanya, ciptakan romantisme bersamanya.
Romantisme tidak selalu bermakna melankolik. Romantisme juga bisa berwujud dalam suasana pengabdian kepada Sang Kholik. Ketika Rasulullah pulang dari gua Hira dalam keadaan takut setelah menerima wahyu, Khadijah meyakinkan, mendukung dan memotivasinya. Itu adalah romantis.
Saat Rasulullah dicaci maki bahkan dilempari kotoran karena dakwahnya, ketika pulang ke rumah Khadijah membersihkannya, bahkan air mata yang menetes pun adalah ungkapan dukungannya kepada suami tercinta. Itu adalah romantis.
Ketika Hasan Al Banna diingatkan oleh istrinya akankah ia tetap pergi berdakwah sementara anaknya demam tinggi, ia menjawab: "Apakah ia akan sembuh jika aku tidak pergi?"
"Tidak. Tetapi bagaimana jika ia meninggal?" Sang istri menaikkan level kekhawatirannya.
"Kakeknya lebih tahu bagaimana memandikan, menshalati dan memakamkannya."
Bagi keluarga dakwah, ini juga romantis.
Tentu, tidak semua pasangan suami istri mampu "menciptakan" romantisme model itu. Model yang lebih mudah dilakukan adalah canda, bermesraan, dan seterusnya yang berbeda dari biasanya. Ini catatannya: berbeda dari biasanya.
Karenanya perlu bagi kita, kadang-kadang lomba berdua dengan istri tercinta. Seperti Rasulullah yang berlomba lari dengan Aisyah. Minum dari gelas yang sama, mandi berdua, yang juga pernah dicontohkan Rasulullah.
3. Perhatian kepada pasangan
“Kalau intinya cinta adalah memberi”, kata Anis Matta dalam Serial Cinta, “maka pemberian pertama seorang pecinta sejati adalah perhatian”.
Perhatian itu bukan hanya penting untuk membuat pasangan kita bahagia, tetapi perhatian kita juga melahirkan perhatian untuk kita. Rasa "monoton" terakumulasi dari keringnya perhatian suami kepada istri dan sebaliknya. Sang istri merasa melakukan segalanya sendirian, mulai dari urusan domestik hingga mendidik anak. Sementara sang suami merasa bekerja seharian tanpa adanya dukungan.
Itu akan berubah jika salah satunya mengambil inisiatif untuk mencurahkan perhatian terlebih dulu, bukan menuntut diperhatikan. Awalilah, misalnya, dengan memberi hadiah pada tanggal pernikahan. Memberikan ucapan selamat ketika anak kita berprestasi, kalau perlu selalu berterima kasih kepadanya setiap hari menjelang tidur. Terima kasih karena telah menemani di jalan Islam ini, terima kasih telah mendidik anak-anak, terima kasih untuk "cinta" yang ia berikan, dan terima kasih untuk segalanya.
4. Menjaga kualitas "hubungan" dan mencipta variasi
Kadang sebagian istri tidak peduli dengan betapa monotonnya malam mereka. Apalagi ditambah dengan tampilan yang apa adanya. Bukan berarti suami yang seperti itu tidak ada. Bisa-bisa juga sama, atau lebih banyak. Karenanya suami istri perlu memperhatikan dirinya sendiri; tubuhnya, penampilannya, baunya, dan seterusnya. Bukankah Rasulullah pernah memberi solusi kepada seorang sahabat untuk merawat penampilannya dan solusi itu mencegahnya dari perceraian? Seperti itulah seharusnya.
Dengan demikian, olah raga itu penting. Menjaga makanan sehat juga penting. Memakai parfum saat bersama suami/istri itu penting. Memilih pakaian di waktu malam juga penting. Sering orang melakukan hal terbalik. Ketika berada di luar rumah luar biasa rapi, namun ketika berduaan dengan suami/istri tampil acak-acakan.
Menjaga kualitas "hubungan" dan menciptakan variasi-variasi dalam melewati malam merupakan kunci lain agar kehidupan pernikahan kita tidak "monoton". Untuk alasan itu, ternyata ada suami istri yang membeli "baju tidur" lebih mahal dari jubah atau gamisnya. Suasana dan gaya berbeda saat berduaan seperti itu ternyata memupus ke-"monoton"-an tertentu.
5. Berdoa
Ini poin yang sangat penting, tidak tergantikan. "Ud'uunii aatajib lakum." Berdoalah kepadaKu niscaya Kukabulkan, demikian firmanNya. Termasuk dalam urusan rumah tangga, berdoalah. Sebut nama dia yang kau cinta dalam doa, mintalah kepada Allah agar senantiasa disatukan dalam kebaikan dan diabadikan cinta hingga kelak di surga. INGAT!
"Iya, Bu. Soalnya mudah-mudah. Tadi ada pertanyaan perkawinan satu pria dengan lebih dari satu wanita disebut apa?"
"Kamu jawab apa?"
"Poligami"
"Bagus!"
"Ada lagi, Bu. Jika satu perempuan dengan suami lebih dari satu."
"Kamu jawab apa?"
"Poliandri"
"Betul"
"Ada lagi, perkawinan seorang pria dengan seorang wanita"
"Kamu jawab apa?"
"Monoton"
"Kok, monoton?"
"Iya, semalam ayah bilang begitu."
***
Saya tidak tahu apakah cerita di atas benar-benar terjadi atau tidak. Saya mendapatkan cerita tersebut dari Ustadz Rofi' Munawar dalam suatu acara dakwah, sebagai sebuah intermezzo. Namun demikian, cerita tersebut cukup menggelitik, boleh jadi ada suami yang berpendapat seperti ayah dalam cerita itu; monogami = monoton.
Benarkah monogami = monoton? Tentu jawabannya akan sangat subyektif, tergantung siapa yang menjawab dan bagaimana pengalamannya dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Tulisan ini tidak bermaksud menemukan jawabannya, tetapi ingin berbagi dan berdiskusi agar kehidupan pernikahan kita tidak "monoton."
1. Memperbaharui niat dan komitmen
Salah satu hal utama yang menjadi faktor pemicu munculnya perasaan "monoton" adalah paradigma kita dalam memandang pernikahan. Paradigma tumbuh seiring dengan niat kita menikah.
Jika niat suami istri ketika menikah adalah niat yang ikhlas –memenuhi panggilan Allah, mengikuti sunnah Rasulullah, menjaga diri, memelihara kehormatan, menyalurkan "potensi" secara halal, melahirkan generasi Islami- maka lamanya pernikahan takkan membuat maknanya berkurang. Memang niat yang benar seperti ini tidak secara otomatis memustahilkan munculnya perasaan "monoton". Tetapi dengan lurusnya niat, jika suatu saat rasa "monoton" itu datang, ia bisa diatasi dengan cepat.
Banyak pasangan yang bermasalah karena niat awal menikah sudah bermasalah. Maka yang menjadi orientasi utama adalah kecantikan, ketampanan, tubuh yang seksi, harta, dan pertimbangan materi lainnya. Begitu lewat beberapa tahun kecantikan memudar, wajah tak lagi rupawan, tubuh yang seksi berubah gendut, harta berkurang... seketika "monoton" itu datang dan sulit terselesaikan. Kurang cantik apa para artis, kurang tampan apa para aktor, kurang seksi apa para selebritis, ternyata banyak diantara mereka yang kemudian cerai, bahkan pada tahun-tahun pertama.
2. Ciptakan romantisme
Umumnya, "monoton" hadir karena kehidupan yang datar. Tak ada tantangan yang dilalui bersama, tak ada sentuhan-sentuhan yang berbeda, tak ada perubahan suasana. Karenanya, ciptakan romantisme bersamanya.
Romantisme tidak selalu bermakna melankolik. Romantisme juga bisa berwujud dalam suasana pengabdian kepada Sang Kholik. Ketika Rasulullah pulang dari gua Hira dalam keadaan takut setelah menerima wahyu, Khadijah meyakinkan, mendukung dan memotivasinya. Itu adalah romantis.
Saat Rasulullah dicaci maki bahkan dilempari kotoran karena dakwahnya, ketika pulang ke rumah Khadijah membersihkannya, bahkan air mata yang menetes pun adalah ungkapan dukungannya kepada suami tercinta. Itu adalah romantis.
Ketika Hasan Al Banna diingatkan oleh istrinya akankah ia tetap pergi berdakwah sementara anaknya demam tinggi, ia menjawab: "Apakah ia akan sembuh jika aku tidak pergi?"
"Tidak. Tetapi bagaimana jika ia meninggal?" Sang istri menaikkan level kekhawatirannya.
"Kakeknya lebih tahu bagaimana memandikan, menshalati dan memakamkannya."
Bagi keluarga dakwah, ini juga romantis.
Tentu, tidak semua pasangan suami istri mampu "menciptakan" romantisme model itu. Model yang lebih mudah dilakukan adalah canda, bermesraan, dan seterusnya yang berbeda dari biasanya. Ini catatannya: berbeda dari biasanya.
Karenanya perlu bagi kita, kadang-kadang lomba berdua dengan istri tercinta. Seperti Rasulullah yang berlomba lari dengan Aisyah. Minum dari gelas yang sama, mandi berdua, yang juga pernah dicontohkan Rasulullah.
3. Perhatian kepada pasangan
“Kalau intinya cinta adalah memberi”, kata Anis Matta dalam Serial Cinta, “maka pemberian pertama seorang pecinta sejati adalah perhatian”.
Perhatian itu bukan hanya penting untuk membuat pasangan kita bahagia, tetapi perhatian kita juga melahirkan perhatian untuk kita. Rasa "monoton" terakumulasi dari keringnya perhatian suami kepada istri dan sebaliknya. Sang istri merasa melakukan segalanya sendirian, mulai dari urusan domestik hingga mendidik anak. Sementara sang suami merasa bekerja seharian tanpa adanya dukungan.
Itu akan berubah jika salah satunya mengambil inisiatif untuk mencurahkan perhatian terlebih dulu, bukan menuntut diperhatikan. Awalilah, misalnya, dengan memberi hadiah pada tanggal pernikahan. Memberikan ucapan selamat ketika anak kita berprestasi, kalau perlu selalu berterima kasih kepadanya setiap hari menjelang tidur. Terima kasih karena telah menemani di jalan Islam ini, terima kasih telah mendidik anak-anak, terima kasih untuk "cinta" yang ia berikan, dan terima kasih untuk segalanya.
4. Menjaga kualitas "hubungan" dan mencipta variasi
Kadang sebagian istri tidak peduli dengan betapa monotonnya malam mereka. Apalagi ditambah dengan tampilan yang apa adanya. Bukan berarti suami yang seperti itu tidak ada. Bisa-bisa juga sama, atau lebih banyak. Karenanya suami istri perlu memperhatikan dirinya sendiri; tubuhnya, penampilannya, baunya, dan seterusnya. Bukankah Rasulullah pernah memberi solusi kepada seorang sahabat untuk merawat penampilannya dan solusi itu mencegahnya dari perceraian? Seperti itulah seharusnya.
Dengan demikian, olah raga itu penting. Menjaga makanan sehat juga penting. Memakai parfum saat bersama suami/istri itu penting. Memilih pakaian di waktu malam juga penting. Sering orang melakukan hal terbalik. Ketika berada di luar rumah luar biasa rapi, namun ketika berduaan dengan suami/istri tampil acak-acakan.
Menjaga kualitas "hubungan" dan menciptakan variasi-variasi dalam melewati malam merupakan kunci lain agar kehidupan pernikahan kita tidak "monoton". Untuk alasan itu, ternyata ada suami istri yang membeli "baju tidur" lebih mahal dari jubah atau gamisnya. Suasana dan gaya berbeda saat berduaan seperti itu ternyata memupus ke-"monoton"-an tertentu.
5. Berdoa
Ini poin yang sangat penting, tidak tergantikan. "Ud'uunii aatajib lakum." Berdoalah kepadaKu niscaya Kukabulkan, demikian firmanNya. Termasuk dalam urusan rumah tangga, berdoalah. Sebut nama dia yang kau cinta dalam doa, mintalah kepada Allah agar senantiasa disatukan dalam kebaikan dan diabadikan cinta hingga kelak di surga. INGAT!