Tawanita - Penelitian teranyar menunjukkan, mereka yang menderita sakit kepala sebelah atau migren berisiko lebih besar mengalami depresi, khususnya di kalangan perempuan. Temuan ini berdasarkan hasil analisa dari data penelitian yang dikumpulkan selama 14 tahun.
Para ilmuwan dari Brigham and Women Hospital di Boston Amerika Serikat mengamati lebih dari 36.000 perempuan yang terdaftar dalam Womens Health Study. Kajian para ahli menyimpulkan bahwa depresi lebih rentan diderita oleh kelompok perempuan yang memiliki migren ketimbang mereka yang tanpa sakit kepala.
Dr Tobias Kurth, ahli epidemiologi yang melakukan studi ini, mengatakan, wanita yang memiliki migren tidak boleh berasumsi mereka akan mengalami depresi. Tetapi harus menyadari dan mewaspadai apa saja yang dapat memicu depresi. Serangan migren dapat berlangsung selama empat sampai 72 jam dan seringkali disertai nyeri berdenyut, mual muntah, serta sensitivitas terhadap cahaya dan suara.
"Hasil riset ini menegaskan bahwa migren dapat meningkatkan risiko depresi, yang sebenarnya telah kami duga selama bertahun-tahun," kata Dr Timothy A. Collins, ahli saraf dari Duke University Medical Center yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Paling banyak pada wanita
Menurut National Institute of Neurological Disorder and Stroke, satu dari 10 orang Amerika menderita migren, tetapi penyakit ini tiga kali lebih sering diderita oleh wanita ketimbang pria. Satu studi sebelumnya juga menemukan bahwa wanita yang menderita lebih dari 15 sakit kepala kronis dalam sebulan, empat kali lebih mungkin mengalami depresi daripada mereka yang mengalaminya kurang dari 15 kali.
Kurth menyatakan, meskipun beberapa obat antidepresan telah terbukti mengurangi frekuensi migrain, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dengan mengobati migren akan otomatis membantu mengobati depresi.
Wanita dengan riwayat migren berisiko
Dari hasil penelitian yang melibatkan hampir 36.154 wanita tanpa depresi, Kurth dan rekan menemukan bahwa sedikitnya ada 6.500 wanita yang akhirnya diketahui menderita migren.
Setelah 14 tahun, sebanyak 3.971 perempuan dalam studi ini mengalami depresi. Para peneliti menemukan bahwa wanita dengan riwayat migren berisiko 1,3 kali lebih tinggi menderita depresi daripada wanita yang tidak pernah menderita migren.
"Tidak ada teori yang dapat menjelaskan hubungan antara depresi dan migrain. Meskipun beberapa dugaan menyebutkan bahwa perubahan hormon memainkan peran terkait munculnya depresi," kata Collins.
Collins menambahkan, penurunan kadar estrogen yang terjadi sebelum masa menstruasi biasanya menjadi pemicu utama terjadinya sakit kepala pada kebanyakan perempuan. Ia menyarankan para wanita untuk berkonsultasi dengan dokter mengenai sakit kepala yang dialami.
"Ada obat yang dapat mengurangi rasa sakit serta mencegah hal ini terjadi. Sebelum penelitian ini, saya tidak pernah bertanya ke pasien saya apakah mereka mengalami depresi atau tidak. Tapi sekarang saya akan menanyakannya," jelasnya. Ingat!
Para ilmuwan dari Brigham and Women Hospital di Boston Amerika Serikat mengamati lebih dari 36.000 perempuan yang terdaftar dalam Womens Health Study. Kajian para ahli menyimpulkan bahwa depresi lebih rentan diderita oleh kelompok perempuan yang memiliki migren ketimbang mereka yang tanpa sakit kepala.
Dr Tobias Kurth, ahli epidemiologi yang melakukan studi ini, mengatakan, wanita yang memiliki migren tidak boleh berasumsi mereka akan mengalami depresi. Tetapi harus menyadari dan mewaspadai apa saja yang dapat memicu depresi. Serangan migren dapat berlangsung selama empat sampai 72 jam dan seringkali disertai nyeri berdenyut, mual muntah, serta sensitivitas terhadap cahaya dan suara.
"Hasil riset ini menegaskan bahwa migren dapat meningkatkan risiko depresi, yang sebenarnya telah kami duga selama bertahun-tahun," kata Dr Timothy A. Collins, ahli saraf dari Duke University Medical Center yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Paling banyak pada wanita
Menurut National Institute of Neurological Disorder and Stroke, satu dari 10 orang Amerika menderita migren, tetapi penyakit ini tiga kali lebih sering diderita oleh wanita ketimbang pria. Satu studi sebelumnya juga menemukan bahwa wanita yang menderita lebih dari 15 sakit kepala kronis dalam sebulan, empat kali lebih mungkin mengalami depresi daripada mereka yang mengalaminya kurang dari 15 kali.
Kurth menyatakan, meskipun beberapa obat antidepresan telah terbukti mengurangi frekuensi migrain, tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa dengan mengobati migren akan otomatis membantu mengobati depresi.
Wanita dengan riwayat migren berisiko
Dari hasil penelitian yang melibatkan hampir 36.154 wanita tanpa depresi, Kurth dan rekan menemukan bahwa sedikitnya ada 6.500 wanita yang akhirnya diketahui menderita migren.
Setelah 14 tahun, sebanyak 3.971 perempuan dalam studi ini mengalami depresi. Para peneliti menemukan bahwa wanita dengan riwayat migren berisiko 1,3 kali lebih tinggi menderita depresi daripada wanita yang tidak pernah menderita migren.
"Tidak ada teori yang dapat menjelaskan hubungan antara depresi dan migrain. Meskipun beberapa dugaan menyebutkan bahwa perubahan hormon memainkan peran terkait munculnya depresi," kata Collins.
Collins menambahkan, penurunan kadar estrogen yang terjadi sebelum masa menstruasi biasanya menjadi pemicu utama terjadinya sakit kepala pada kebanyakan perempuan. Ia menyarankan para wanita untuk berkonsultasi dengan dokter mengenai sakit kepala yang dialami.
"Ada obat yang dapat mengurangi rasa sakit serta mencegah hal ini terjadi. Sebelum penelitian ini, saya tidak pernah bertanya ke pasien saya apakah mereka mengalami depresi atau tidak. Tapi sekarang saya akan menanyakannya," jelasnya. Ingat!