Tawanita - Cinta. Dari jaman Nabi Adam yang masih sangat primitif hingga jaman telah berubah modern seperti sekarang ini, topik Cinta selalu menjadi bahan hangat yang tak pernah ada habisnya untuk dibahas. Karena cinta adalah sebuah perantara yang mampu membawa seseorang memasuki dimensi yang tak dapat diuraikan dengan pasti. Sejatinya cinta adalah rasa yang secara naluriah tumbuh dalam hati seseorang, lalu berkembang bak semerbak mawar yang merekah.
Senja perlahan merangkak menenggelamkan siang. Hujan lebat yang baru saja mengguyur kota Purwokerto masih menyisakan aroma sendu. Di sana sini air tampak menggenangi jalanan yang mulai berlubang. Sementara, pepohonan yang tetap setia berjajar seperti barisan tentara di sepanjang jalan antara Fakultas Pertanian hingga Fakultas Bahasa UNSOED terlihat basah oleh rintik hujan yang baru saja usai. Seorang gadis bermata sipit dengan jilbab abu-abu serta gamis panjang dengan warna senada membuatnya tampak anggun. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima lewat. Sementara, sang gadis yang memiliki nama Arlen masih berdiri terpaku di depan pendopo UNSOED. Ia tahu, bahwa jam segitu memang sudah tidak ada angkot yang lewat. Harapannya hanya satu, ada tukang ojek yang lewat atau mungkin bisa saja ada angkot yang mau pulang, meski kemungkinan itu sangat kecil. Ya, di Purwokerto, angkot hanya beroperasi hingga pukul empat sore, yang itu pun jarang.
Kelelahan tampak menghias wajah Arlen. Hingga maghrib menjelang, ia masih nampak berdiri di jalanan. Karena angkutan yang ditunggu tidak juga nampak, akhirnya ia memutuskan untuk menunaikan shalat maghrib terlebih dahulu di Masjid terdekat. Setelahnya, ia kembali berjalan, mencari tukang ojek yang bisa mengantarnya pulang ke tempat kosnya di Jalan Pemuda. Sementara rumah orangtuanya tinggal di kota Purbalingga.
"Assalamu'alaikum, Mbak,"
"Wa'alaikumsalam warahmatullah," seraya menengok ke arah datangnya suara, Arlen menjawab salam.
"Sedang menunggu siapa, ya? Malam-malam begini di jalanan?" sosok pria yang sepertinya berumur tidak jauh dari Arlen bertanya dengan pembawaan yang sopan. Dari sikap cara bicaranya, tentu saja Arlen tidak menaruh curiga sedikit pun.
"Ehm, anu Mas. Saya mau pulang, Mas. Tadi habis ikut seminar untuk mengantisipasi isu tentang NII di pendopo UNSOED," jawabnya tegas.
"Pulangnya kemana? Ada yang jemput?"
"Ke Jalan Pemuda, Mas. Tidak ada yang jemput. Tadi acara kelar pukul setengah lima, dan sudah tidak ada angkot lewat. Tukang ojek pun tidak ada yang lewat. Mungkin karena hari hujan," ia mulai tampak gelisah. Memikirkan bagaimana seandainya tidak ada kendaraan yang lewat untuk bisa dijadikan tumpangan.
"Jika berkenan, biar saya antar, ya? Saya tidak tega melihat perempuan malam-malam begini di jalanan, itu bahaya," pria itu menawarkan bantuan. Arlen tampak mempertimbangkan tawaran itu sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan. "Oh ya, kenalkan, nama saya Faisal," lanjut pria itu lagi.
"Saya Arlen," ia tersenyum.
***
Tidak diduga tidak dinyana, ternyata perkenalan Arlen dengan Faisal berlanjut menjadi hubungan istimewa. Dua bulan setelah perkenalan mereka, Faisal menyampaikan perasaan sukanya. Arlen yang memiliki rasa yang tidak jauh beda pun langsung mengiyakan untuk menjalin hubungan serius, pacaran.
Hampir tiga tahun lebih keduanya menjalin hubungan. Dan, mereka sudah saling mengenal keluarga masing-masing. Faisal yang bekerja di Hotel sebagai seorang supervisor juga mempunyai itikad baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius, ia akan menikahi Arlen. Usianya kini 23 tahun, usia yang cukup matang untuk memikirkan hubungan serius ke jenjang pernikahan. Sebenarnya, Arlen tidak pernah ambil pusing memikirkan soal pernikahannya. Ia tidak pernah menargetkan kapan dirinya akan menikah. Baginya, kapan pun jodohnya datang, dengan tangan terbuka ia akan menyambutnya.
"Nak, kapan Nak Faisal akan melamarmu? Ibu ini sudah tua. Ibu ingin melihatmu menikah sebelum Ibu meninggal,"
"Iya Len, Ibumu benar. Bapak juga sudah tua. Bapak hanya ingin memastikan, jika suatu hari Bapak pergi, Bapak akan tenang karena melihatmu ada imam yang akan mendampingi serta menjagamu,"
Kalimat yang diucapkan orangtuanya terus mengiang dalam gendang telinga. Sebagai seorang anak yang ingin berbakti, Arlen memang sangat ingin mengabulkan keinginan orangtuanya untuk segera menikah. Ia ingin menyenangkan hati keduanya selama ia masih mampu. Tiba-tiba rasa takut luar biasa menggerayangi sekujur badannya, mengingat orangtuanya yang sudah renta dan sering sakit-sakitan. Sebenarnya, ia tidak perlu ragu untuk menjawab pertanyaan Ibu maupun Bapaknya jika saja dua hari lalu Faisal tidak mengungkapkan kenyataan yang membuatnya senang sekaligus menyakitkan.
"Dik, Mas berniat menikahimu. Mas ingin menjadi imam dalam mahligai rumah tanggamu," suatu sore, selepas Arlen pulang mengajar anak-anak di Panti Asuhan Muhammadiyah Purwokerto, Faisal berkata pelan. Kemudian menghembuskan nafas panjang. Mendengar kalimat tersebut, hati Arlen berbunga-bunga. Matanya cerah secerah kilat.
"Kapan kau mau menikahiku, Mas?"
"Tapi maaf, mungkin tujuan Mas akan terlaksana dua tahun lagi. Bukan Mas ingin menunda-nunda niat Mas. Tapi, Mas harus menuruti kemauan Ibu, toh kata Ibu Mas ini masih cukup muda, baru 26 tahun. Jadi tolong mengerti, Dik,"
"Aku sangat mengerti, Mas. Tapi seperti Mas ketahui, Ibuku terus mendesak karena berbagai alasan. Aku tak kuasa melawannya, Mas. Sebenernya, buat aku sendiri tidak masalah. Tapi aku harus gimana? Mas juga jangan egois dong. Mas juga mesti ngertiin aku," kali ini emosi Arlen menguap. Ia tidak mau memaksakan kehendak, tapi ia juga tidak mungkin menunggu Faisal hingga dua tahun lamanya. Sepanjang perjalanan pulang, keduanya dicekam kebisuan. Dan ketika Faisal menghentikan motornya di depan rumah Arlen, hanya salam yang keluar dari mulut Arlen. Setelah Faisal berlalu meninggalkan, Arlen baru masuk rumah.
Dengan pikiran yang tidak menentu, Arlen merebahkan diri di atas pembaringan. Tatapan matanya menerawang langit-langit kamar. Perlahan, matanya mulai terpejam. Mungkin karena lelah yang menjalar, ia ingin segera tenggelam dalam tidur yang nyaman, sebelum akhirnya bunyi handphone pertanda pesan singkat berdering membangunkan seluruh kesadarannya.
"Jika kamu tidak sabar menungguku, silakan menikah dengan orang lain yang sudah benar-benar siap," SMS dari Faisal. Rongga dada Arlen menggemuruh. Ia terkejut dengan perkataan Faisal. Tanpa membalas SMS tersebut, hingga larut Arlen masih terjaga dari tidurnya. Ia mencerna kalimat yang dikirimkan Faisal melalui SMS. Apakah ucapannya menandakan bahwa ia tak lagi menyayanginya? Ah entahlah. Ia teringat akan ucapan Rizal beberapa hari lalu, saat tak sengaja bertemu dengannya di sebuah Swalayan. Rizal adalah sahabat kecil Arlen, yang kemudian pindah ke Bandung setelah dia lulus Sekolah Dasar, bersama orangtuanya. Dia adalah kakak kelas Arlen yang dua tingkat di atasnya. Dan sekarang, ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya setelah sukses jadi seorang pengusaha kuliner di Kota Kembang. Niatnya, ia akan membuka cabang di dekat alun-alun Kota Purbalingga.
"Len, kamu makin cantik saja ya? Sudah menikah sekarang?"
"Belum,Mas Rizal,"
"Wah, kebetulan kalau gitu. Aku sebenernya pernah berharap kalau kamu bakal menjadi istriku. Malahan, foto kita di padang ilalang tigabelas tahun lalu masih aku simpan. Saat itu, Saef yang memotret kita. Kalau inget, rasanya lucu ya. Kamu tuh dulu manja banget, sering minta aku gendong," senyum Rizal mengembang.
"Haha, Mas Rizal ini ada-ada saja. Jangan ngaco ah Mas. Aku udah punya calon. Hanya saja..." Arlen menghentikan ucapannya. Ia memalingkan wajahnya dari hadapan Rizal.
"Kenapa Len? Ada masalah sama calonmu?"
"Nggak tahulah Mas. Kelihatannya dia mau serius denganku, tapi orangtuanya meminta dua tahun lagi. Katanya sekarang masih terlalu muda. Sementara orangtuaku terus mendesak supaya aku cepat menikah. Aku jadi bingung,"
"Hemm.. Ya sudah, menikahlah denganku. Kan itu untuk membahagiakan orangtuamu juga?"
Arlen terombang-ambing oleh perasaannya sendiri. Antara remuk redam, ia mencoba berdamai dengan hatinya. Namun, semuanya sia-sia. Ia tidak juga menemukan jawab atas pertanyaan yang menjejali otaknya. Keputusan final, akhirnya Arlen memilih untuk memutuskan hubungan dengan Faisal. Ia lebih memilih Rizal, teman lama sekaligus cinta masa kecilnya. Arlen tahu, jika hatinya cenderung memilih Faisal. Tapi ia juga berkeyakinan, bahwa menuruti kata hati tidak selamanya baik buatnya. Apalagi, ini demi menyenangkan hati orangtuanya.
Ucapan Faisal yang terkesan terburu-buru, sebenarnya hanya sebagai luapan emosi. Tak ada niat untuk meninggalkan Arlen. Dan setelahnya, ia merasa sangat menyesal. Tapi, Faisal juga tak mampu berbuat banyak. Ia hanya berharap semoga saja Arlen menemukan kebahagiaan lain, meski tanpa dirinya. Yaitu dengan Rizal, yang kemudian ia ketahui perihal hubungannya dari salah satu temannya yang sama-sama bekerja sebagai staf tata usaha di sebuah SMA Islam di Kota Purbalingga.
"Len, minggu depan, aku akan melamarmu. Sampaikan sama Bapak Ibumu, ya. Bulan depan kita menikah. Kemarin, aku sempat mengobrol sama Bapakmu, dan beliau setuju," suara Rizal di ujung telepon membuat Arlen yang tengah melahap sup ayam tersedak. Ia tidak tahu harus bahagia atau justru bersedih. Sebab, hingga tiga bulan setelah berpisah dari Faisal, masih ada cinta dan rindu tersisa kepadanya. Namun ia sadar, bahwa ia harus membahagiakan orangtuanya. Dengan kekuatan penuh, ia mencoba untuk tidak mempedulikan isi hatinya. Yang terpenting, ia bisa melihat Bapak Ibunya tersenyum melihatnya naik ke pelaminan. Itu saja.
***
"Assalamu'alaikum," setelah beberapa saat menunggu, akhirnya ucapan salam terdengar dari beranda rumah. Di rumah Arlen telah hadir dua orang Kakak serta Om dan Tantenya. Ya, malam ini adalah malam lamaran Rizal sama Arlen. Wajah Arlen tampak cerah, dengan kebaya modern berwarna biru muda, dipadu dengan jilbab dengan warna sama.
"Wa'alaikumsalam," serentak mereka menjawab.
"Mas Faisal?" Arlen terkejut bukan main ketika melihat kedatangan Faisal dengan kedua orangtuanya dan seorang adik perempuannya yang baru berusia 13 tahun. Ia dibuat bingung karenanya.
"Jangan marah ya, Nak," Pak Rudi, ayah Faisal membuka pembicaraan. "Maafkan kami, yang dulu sempat menjadi penghalang cinta kalian. Kami sangat mengerti keinginan Pak Suroso dan Bu Halimah yang ingin melihat Arlen buru-buru menikah. Dulu, kami memang egois, memaksakan kehendak kami, tidak mengijinkan Faisal untuk menikah karena usianya baru 26 tahun. Setelah dipikir-pikir dan atas bujukan Nak Rizal, kami akhirnya sadar. Sekali lagi, maafkan kami."
"Jadi?" Arlen masih diselimuti kebingungan. Apa yang kini ada di depan mata membuat dirinya bertanya-tanya.
"Jadi gini, Dik. Tiga hari lalu Rizal ke tempat Mas, berbicara panjang lebar sama orangtua Mas. Mas waktu itu sedang tidak ada di rumah, masih di tempat kerja. Entah apa yang udah dikatakan, hingga malam harinya Bapak bilang kalau mereka mau melamarmu, atas permintaan Rizal," tiba-tiba saja Arlen merasa terharu. Ia tahu, bahwa Rizal sangat mencintainya. Tapi, ternyata ia rela berkorban untuk dirinya. "Oh iya, ini ada titipan dari Rizal," Faisal menyodorkan amplop putih yang masih tertutup rapat.
Bulir bening mulai berjatuhan dari mata Arlen. Ia begitu terharu dengan pengorbanan Rizal yang mungkin teramat berat. Akhirnya, semua berakhir sebagaimana mestinya, ia bersatu dengan Faisal.[ ]
Kelelahan tampak menghias wajah Arlen. Hingga maghrib menjelang, ia masih nampak berdiri di jalanan. Karena angkutan yang ditunggu tidak juga nampak, akhirnya ia memutuskan untuk menunaikan shalat maghrib terlebih dahulu di Masjid terdekat. Setelahnya, ia kembali berjalan, mencari tukang ojek yang bisa mengantarnya pulang ke tempat kosnya di Jalan Pemuda. Sementara rumah orangtuanya tinggal di kota Purbalingga.
"Assalamu'alaikum, Mbak,"
"Wa'alaikumsalam warahmatullah," seraya menengok ke arah datangnya suara, Arlen menjawab salam.
"Sedang menunggu siapa, ya? Malam-malam begini di jalanan?" sosok pria yang sepertinya berumur tidak jauh dari Arlen bertanya dengan pembawaan yang sopan. Dari sikap cara bicaranya, tentu saja Arlen tidak menaruh curiga sedikit pun.
"Ehm, anu Mas. Saya mau pulang, Mas. Tadi habis ikut seminar untuk mengantisipasi isu tentang NII di pendopo UNSOED," jawabnya tegas.
"Pulangnya kemana? Ada yang jemput?"
"Ke Jalan Pemuda, Mas. Tidak ada yang jemput. Tadi acara kelar pukul setengah lima, dan sudah tidak ada angkot lewat. Tukang ojek pun tidak ada yang lewat. Mungkin karena hari hujan," ia mulai tampak gelisah. Memikirkan bagaimana seandainya tidak ada kendaraan yang lewat untuk bisa dijadikan tumpangan.
"Jika berkenan, biar saya antar, ya? Saya tidak tega melihat perempuan malam-malam begini di jalanan, itu bahaya," pria itu menawarkan bantuan. Arlen tampak mempertimbangkan tawaran itu sebelum akhirnya ia mengangguk perlahan. "Oh ya, kenalkan, nama saya Faisal," lanjut pria itu lagi.
"Saya Arlen," ia tersenyum.
***
Tidak diduga tidak dinyana, ternyata perkenalan Arlen dengan Faisal berlanjut menjadi hubungan istimewa. Dua bulan setelah perkenalan mereka, Faisal menyampaikan perasaan sukanya. Arlen yang memiliki rasa yang tidak jauh beda pun langsung mengiyakan untuk menjalin hubungan serius, pacaran.
Hampir tiga tahun lebih keduanya menjalin hubungan. Dan, mereka sudah saling mengenal keluarga masing-masing. Faisal yang bekerja di Hotel sebagai seorang supervisor juga mempunyai itikad baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius, ia akan menikahi Arlen. Usianya kini 23 tahun, usia yang cukup matang untuk memikirkan hubungan serius ke jenjang pernikahan. Sebenarnya, Arlen tidak pernah ambil pusing memikirkan soal pernikahannya. Ia tidak pernah menargetkan kapan dirinya akan menikah. Baginya, kapan pun jodohnya datang, dengan tangan terbuka ia akan menyambutnya.
"Nak, kapan Nak Faisal akan melamarmu? Ibu ini sudah tua. Ibu ingin melihatmu menikah sebelum Ibu meninggal,"
"Iya Len, Ibumu benar. Bapak juga sudah tua. Bapak hanya ingin memastikan, jika suatu hari Bapak pergi, Bapak akan tenang karena melihatmu ada imam yang akan mendampingi serta menjagamu,"
Kalimat yang diucapkan orangtuanya terus mengiang dalam gendang telinga. Sebagai seorang anak yang ingin berbakti, Arlen memang sangat ingin mengabulkan keinginan orangtuanya untuk segera menikah. Ia ingin menyenangkan hati keduanya selama ia masih mampu. Tiba-tiba rasa takut luar biasa menggerayangi sekujur badannya, mengingat orangtuanya yang sudah renta dan sering sakit-sakitan. Sebenarnya, ia tidak perlu ragu untuk menjawab pertanyaan Ibu maupun Bapaknya jika saja dua hari lalu Faisal tidak mengungkapkan kenyataan yang membuatnya senang sekaligus menyakitkan.
"Dik, Mas berniat menikahimu. Mas ingin menjadi imam dalam mahligai rumah tanggamu," suatu sore, selepas Arlen pulang mengajar anak-anak di Panti Asuhan Muhammadiyah Purwokerto, Faisal berkata pelan. Kemudian menghembuskan nafas panjang. Mendengar kalimat tersebut, hati Arlen berbunga-bunga. Matanya cerah secerah kilat.
"Kapan kau mau menikahiku, Mas?"
"Tapi maaf, mungkin tujuan Mas akan terlaksana dua tahun lagi. Bukan Mas ingin menunda-nunda niat Mas. Tapi, Mas harus menuruti kemauan Ibu, toh kata Ibu Mas ini masih cukup muda, baru 26 tahun. Jadi tolong mengerti, Dik,"
"Aku sangat mengerti, Mas. Tapi seperti Mas ketahui, Ibuku terus mendesak karena berbagai alasan. Aku tak kuasa melawannya, Mas. Sebenernya, buat aku sendiri tidak masalah. Tapi aku harus gimana? Mas juga jangan egois dong. Mas juga mesti ngertiin aku," kali ini emosi Arlen menguap. Ia tidak mau memaksakan kehendak, tapi ia juga tidak mungkin menunggu Faisal hingga dua tahun lamanya. Sepanjang perjalanan pulang, keduanya dicekam kebisuan. Dan ketika Faisal menghentikan motornya di depan rumah Arlen, hanya salam yang keluar dari mulut Arlen. Setelah Faisal berlalu meninggalkan, Arlen baru masuk rumah.
Dengan pikiran yang tidak menentu, Arlen merebahkan diri di atas pembaringan. Tatapan matanya menerawang langit-langit kamar. Perlahan, matanya mulai terpejam. Mungkin karena lelah yang menjalar, ia ingin segera tenggelam dalam tidur yang nyaman, sebelum akhirnya bunyi handphone pertanda pesan singkat berdering membangunkan seluruh kesadarannya.
"Jika kamu tidak sabar menungguku, silakan menikah dengan orang lain yang sudah benar-benar siap," SMS dari Faisal. Rongga dada Arlen menggemuruh. Ia terkejut dengan perkataan Faisal. Tanpa membalas SMS tersebut, hingga larut Arlen masih terjaga dari tidurnya. Ia mencerna kalimat yang dikirimkan Faisal melalui SMS. Apakah ucapannya menandakan bahwa ia tak lagi menyayanginya? Ah entahlah. Ia teringat akan ucapan Rizal beberapa hari lalu, saat tak sengaja bertemu dengannya di sebuah Swalayan. Rizal adalah sahabat kecil Arlen, yang kemudian pindah ke Bandung setelah dia lulus Sekolah Dasar, bersama orangtuanya. Dia adalah kakak kelas Arlen yang dua tingkat di atasnya. Dan sekarang, ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya setelah sukses jadi seorang pengusaha kuliner di Kota Kembang. Niatnya, ia akan membuka cabang di dekat alun-alun Kota Purbalingga.
"Len, kamu makin cantik saja ya? Sudah menikah sekarang?"
"Belum,Mas Rizal,"
"Wah, kebetulan kalau gitu. Aku sebenernya pernah berharap kalau kamu bakal menjadi istriku. Malahan, foto kita di padang ilalang tigabelas tahun lalu masih aku simpan. Saat itu, Saef yang memotret kita. Kalau inget, rasanya lucu ya. Kamu tuh dulu manja banget, sering minta aku gendong," senyum Rizal mengembang.
"Haha, Mas Rizal ini ada-ada saja. Jangan ngaco ah Mas. Aku udah punya calon. Hanya saja..." Arlen menghentikan ucapannya. Ia memalingkan wajahnya dari hadapan Rizal.
"Kenapa Len? Ada masalah sama calonmu?"
"Nggak tahulah Mas. Kelihatannya dia mau serius denganku, tapi orangtuanya meminta dua tahun lagi. Katanya sekarang masih terlalu muda. Sementara orangtuaku terus mendesak supaya aku cepat menikah. Aku jadi bingung,"
"Hemm.. Ya sudah, menikahlah denganku. Kan itu untuk membahagiakan orangtuamu juga?"
Arlen terombang-ambing oleh perasaannya sendiri. Antara remuk redam, ia mencoba berdamai dengan hatinya. Namun, semuanya sia-sia. Ia tidak juga menemukan jawab atas pertanyaan yang menjejali otaknya. Keputusan final, akhirnya Arlen memilih untuk memutuskan hubungan dengan Faisal. Ia lebih memilih Rizal, teman lama sekaligus cinta masa kecilnya. Arlen tahu, jika hatinya cenderung memilih Faisal. Tapi ia juga berkeyakinan, bahwa menuruti kata hati tidak selamanya baik buatnya. Apalagi, ini demi menyenangkan hati orangtuanya.
Ucapan Faisal yang terkesan terburu-buru, sebenarnya hanya sebagai luapan emosi. Tak ada niat untuk meninggalkan Arlen. Dan setelahnya, ia merasa sangat menyesal. Tapi, Faisal juga tak mampu berbuat banyak. Ia hanya berharap semoga saja Arlen menemukan kebahagiaan lain, meski tanpa dirinya. Yaitu dengan Rizal, yang kemudian ia ketahui perihal hubungannya dari salah satu temannya yang sama-sama bekerja sebagai staf tata usaha di sebuah SMA Islam di Kota Purbalingga.
"Len, minggu depan, aku akan melamarmu. Sampaikan sama Bapak Ibumu, ya. Bulan depan kita menikah. Kemarin, aku sempat mengobrol sama Bapakmu, dan beliau setuju," suara Rizal di ujung telepon membuat Arlen yang tengah melahap sup ayam tersedak. Ia tidak tahu harus bahagia atau justru bersedih. Sebab, hingga tiga bulan setelah berpisah dari Faisal, masih ada cinta dan rindu tersisa kepadanya. Namun ia sadar, bahwa ia harus membahagiakan orangtuanya. Dengan kekuatan penuh, ia mencoba untuk tidak mempedulikan isi hatinya. Yang terpenting, ia bisa melihat Bapak Ibunya tersenyum melihatnya naik ke pelaminan. Itu saja.
***
"Assalamu'alaikum," setelah beberapa saat menunggu, akhirnya ucapan salam terdengar dari beranda rumah. Di rumah Arlen telah hadir dua orang Kakak serta Om dan Tantenya. Ya, malam ini adalah malam lamaran Rizal sama Arlen. Wajah Arlen tampak cerah, dengan kebaya modern berwarna biru muda, dipadu dengan jilbab dengan warna sama.
"Wa'alaikumsalam," serentak mereka menjawab.
"Mas Faisal?" Arlen terkejut bukan main ketika melihat kedatangan Faisal dengan kedua orangtuanya dan seorang adik perempuannya yang baru berusia 13 tahun. Ia dibuat bingung karenanya.
"Jangan marah ya, Nak," Pak Rudi, ayah Faisal membuka pembicaraan. "Maafkan kami, yang dulu sempat menjadi penghalang cinta kalian. Kami sangat mengerti keinginan Pak Suroso dan Bu Halimah yang ingin melihat Arlen buru-buru menikah. Dulu, kami memang egois, memaksakan kehendak kami, tidak mengijinkan Faisal untuk menikah karena usianya baru 26 tahun. Setelah dipikir-pikir dan atas bujukan Nak Rizal, kami akhirnya sadar. Sekali lagi, maafkan kami."
"Jadi?" Arlen masih diselimuti kebingungan. Apa yang kini ada di depan mata membuat dirinya bertanya-tanya.
"Jadi gini, Dik. Tiga hari lalu Rizal ke tempat Mas, berbicara panjang lebar sama orangtua Mas. Mas waktu itu sedang tidak ada di rumah, masih di tempat kerja. Entah apa yang udah dikatakan, hingga malam harinya Bapak bilang kalau mereka mau melamarmu, atas permintaan Rizal," tiba-tiba saja Arlen merasa terharu. Ia tahu, bahwa Rizal sangat mencintainya. Tapi, ternyata ia rela berkorban untuk dirinya. "Oh iya, ini ada titipan dari Rizal," Faisal menyodorkan amplop putih yang masih tertutup rapat.
"Len, aku tahu aku teramat mencintaimu, sejak kita masih kanak-kanak. Dan aku tahu kamu juga mencintaiku. Tapi aku juga tahu, kalau cintamu sama Faisal lebih besar. Aku tidak mungkin merenggut kebahagiaanmu dengan mengorbankan cintamu, meski kamu mengatasnamakan kebahagiaan orangtua sebagai alasan. Aku tetap tidak bisa, Len. Aku akan lebih bahagia jika kamu bahagia bersama orang yang benar-benar kamu cintai setulus hatimu. Selamat Menempuh Hidup Baru. Maaf, aku tidak dapat hadir di acara pertunanganmu, tapi aku akan hadir di pernikahanmu, bulan depan. Insya Allah."
ttd. Rizal
Bulir bening mulai berjatuhan dari mata Arlen. Ia begitu terharu dengan pengorbanan Rizal yang mungkin teramat berat. Akhirnya, semua berakhir sebagaimana mestinya, ia bersatu dengan Faisal.[ ]